Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 31 Oktober 2010

Individu, Keluarga dan Masyarakat

Individu
Kata “individu” berasal dari kata latin, yaitu individiuum, “berarti “yang tak terbagi”. Jadi, merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial paham individu menyangkut tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Dalam ilmu sosial, individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan – kenyataan hidup yang istimewa, yang tak seberapa mempengaruhi kehidupan manusia.
Keluarga
Keluarga diartikan sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi. Fungsi keluarga adalah berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, menolong, melindungi atau merawat orang – orang tua (jompo).
Masyarakat
Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut society, asal katanya socius yang berarti kawan. Adapun kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu syirk, artinya bergaul. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan, melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan. Para ahli seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P. Gillin sepakat, bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai – nilai, norma – norma, cara – cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berintaraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu, yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Untuk arti yang lebih khusus masyarakat disebut pula kesatuan sosial, mempunyai ikatan – ikatan kasih sayang yang erat. Mirip jiwa manusia, yang dapat diketahui, pertama melalui kelakuan dan perbuatannya sebagai penjelmaannya yang lahir, kedua melalui pengalaman batin dalam roh manusia perseorangan sendiri. Bahkan memperoleh “superioritas”, merasakan sebagai sesuatu yang lebih tingi nilainya daripada jumlah bagian – bagiannya. Sesuatu yang “kokoh-kuat”, suatu perwujudan pribadi bukan di dalam, melainkan luar, bahkan di atas kita.


TINJAUAN KASUS KELUARGA MISKIN
Bagaimana ciri-ciri keluarga yang hidup dalam kondisi miskin. J.Kosa.dan I.K.Zola. dalam Saparinah Sadli mengatakan, bahwa kondisi miskin sebagai lingkungan sosial di mana anak dibesarkan, tidak rnendukung atau membantu terbentuknya watak atau sifat-sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinannya karena beberapa kondisi.
Pertama, lingkungan keluarga miskin tidak dapat mengembangkan pola sosialisasi di mana seseorang dibimbing untuk mengembangkan dan belajar keterampilan khusus untuk dapat mencari pekerjaan yang layak. Sebab, cara-cara mencari nafkah dari keluarga miskin ditandai oleh adanya ketidak pastian dan ketidak mantapan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi kehidupan yang serba tidak mantap ini menyulitkan orang tua miskin untuk dapat meneruskan sesuatu yang bersifat mantap kepada anak-anaknya. Sehingga peneladanan kalaupun ada lebih bersifat tidak disengaja dan justru memperkuat kondisi kehidupan miskin.
Kedua, karena lingkungan keluarga miskin biasanya ditandai oleh tidak adanya pekerjaan yang langgeng (no steady job), maka salah satu kesibukan konkret yang harus dilaksanakan sehari-hari ialah mencari kegiatan yang dapat mengurangi rasa tidak aman dan tidak pasti. Hal ini menimbulkan suatu kebiasaan untuk hidup secara tidak teratur. Dinyatakan, bahwa keadaan seperti ini telah menyebabkan orang-orang dalam kondisi hidup miskin kurang menyukai kegiatan-kegiatan yang menuntut adanya suatu "steadiness." Latar belakang ini telah dipergunakan untuk menjelaskan mengapa orang-orang miskin justru tertarik pada kegiatan yang dapat membawa rezeki sesaat (bila untung) seperti main kartu atau main judi, dan sebagainya.
Ketiga, kondisi kemiskinannya menyebabkan minimnya aspirasi keluarga miskin (secara sadar atau tidak sadar). Apa yang mereka ajarkan kepada anak-anaknya dalam proses sosialisasi hanyalah keterampilan-keterampilan yang memungkinkan anak-anak tersebut melanjutkan cara hidup keluarganya sekarang.Hal ini ber-hubungan erat dengan kenyataaan lain bahwa keluarga miskin biasanya tidak mempunyai sarana yang diperlukan untuk meningkatkan kondisi ekonomi keturunannya. Dari keluarga miskin sulit diharapkan bahwa mereka dapat mengajarkan pola tingkah laku yang "conform" terhadap norma-norma sosial yang berlaku umum,karena tidak ada kondisi dalam lingkungannya yang menguntungkan atau dapat memberi penguatan bila hal tersebut diajarkan kepada anak-anaknya.
Keempat, salah satu aspek penting dalam proses sosialisasi ialah bahwa keluatga mengajatkMi kepada anak-anaknya, agar ia dapat mengun&u pemuasan mendadak dari kebutuhan-kebutuhan-nya. Pada anak-anak diajarkan supaya tidak memuaskan setiap kebutuhan secara segera, yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih penting, misalnya demi hari depan yang lebih baik. Meskipun mengantuk dan capai, ia harus belajar untuk ujian, agar dapat lulus, dan selanjutnya menuntut pendidikan tertentu untuk memperoleh profesi atau keterampilan tertentu demi memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Relevansi ini tidak berlaku bagi keluarga miskin karena anak-anak mereka pada umur yang sangat muda justeru belajar dan harus mengalami kesulitan/ masalah kehidupan, bahwa yang penting adalah untuk segera dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang, pangan, dan papan. Sehingga ia belajar bagaimana segera mernenuhi kebutuhan ini dalam berbagai tindakannya yang tidak selalu sesuai dengan harapan lingkungan sosial pada umumnya. Bahkan, hal tersebut dilakukan dengan cara mengeksploitasi anak secara ekonomi, sehingga anak kehilangan haknya untuk dapat hidup secara wajar.
Kelima, kondisi kemiskinan yang pada dasarnya ditandai oleh berbagai keterbatasan terjadinya proses sosialisasi yang dapat menumbuhkan rasa keterikatan emosional. Ikatan emosional yang tinggi terhadap lingkungan keluarga akan sangat terganggu dalam lingkungan keluarga yang tidak memiliki tujuan yang jelas, tanpa memiliki tempat tinggal yang pasti, tanpa bekal yang cukup untuk hidup sendiri lepas dari bimbingan orang tua.
Kondisi dan cara hidup inilah yang merupakan landasan bagi terbentuknya kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki. Kemiskinan yang menurut Oscar Lewis, antara lain telah mendorong terwujudnya sikap-sikap menerima nasib, meminta-minta, atau mengharapkan bantuan dan sedekah, sebenarnya merupakan bentuk adaptasi yang rasional dan cukup pandai dalam usaha kemiskinan yang mereka hadapi.
Karena kebudayaan kemiskinan itu lestari melalui sosialisasi, maka usaha-usaha untuk memerangi kemiskinan ialah dengan cara mengubah kebudayaan kemiskinan yang dapat dilakukan dengan melakukan perubahan-perubahan dalam pola sosialisasi anak-anak miskin.

MASALAH KEMISKINAN DAN SOLUSINYA
Ada beberapa pendekatan yang dapat dipergunakan untuk memahami masalah kemiskinan, yaitu pendekatan pendekatan situasional, dan pendekatan interaksional.
Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1995), kemiskinan adalah suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi yang berlangsung lama. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lewis menemukan bahwa kemiskinan adalah salah satu subkultur masyarakat yang mempunyai kesamaan ciri antaretnik satu dengan etnik yang lain. Kebudayaan kemiskinan cenderung untuk tumbuh dan berkernbang di dalam masyarakat-masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi sbb:
1. Sistem perekonomian yang terlalu berorientasi pada mencari keuntungan.
2. Tingginya tingkat angka pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil atau tidak punya keahlian.
3. Rendahnya upah/ gaji yang diperoleh para pekerja.
4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial dalam bidang ekonomi dan politiknya.
5. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal atau kesempatan untuk terus meningkat dalam status, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa kemiskinan atau rendahnya status ekonomi disebabkan oleh karena ketidak sanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Charles A. Valentine dalam Mubyarto (1995), mengernukakan bahwa ciri-ciri subkultur orang miskin seperti yang digambarkan oleh Lewis bukanlah suatu hasil kebudayaan yang turun temurun. Ciri-ciri itu timbul oleh karena situasi yang menekan. Bilamana situasi yang menekan itu hilang, ciri-ciri tersebut akan hilang dengan sendirinya. Situasi yang menekan tersebut timbul karena struktur total dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat.
Selanjutnya Valentine berpendapat, bahwa untuk mengubah keadaan orang miskin ke arah yang lebih baik harus diadakan perubahan secara simultan dalam tiga hal:
Pertama, penambahan resources (kesempatan kerja, pendidikan, dll). Kedua, perubahan struktur sosial masyarakat.
Ketiga, perubahan-perubahan di dalam subkultur masyarakat orang miskin tersebut.
Herbert J. Gans dalam Suparlan (1995) , yang dikenal dengan pendekatan interaksionalnya mengernukakan, bahwa perilaku dan ciri-ciri yang ditampilkan kaum miskin adalah merupakan hasil interaksi antarfaktor kebudayaan yang sudah tertanam di dalam diri orang miskin dan faktor situasi yang menekan. Gans menolak pendapat Lewis, yang menyatakan bahwa orang miskin di semua negara mempunyai ciri-ciri yang sama. Menurut Gans, orang-orang miskin bersifat heterogen. Sebagian orang miskin menjadi miskin karena warisan generasi sebelumnya. Tapi, ada juga yang miskin secara periodik. Ada pula yang bertambah miskin, sedangkan sebagiannya lagi bertambah baik kehidupannya.
Sebaliknya sebagian dari mereka berorientasi ke atas dan melihat adanya kesempatan untuk maju, sedangkan sebagian lainnya tidak berorientasi demikian dan tidak menggunakan kesempatan yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendapat Gans, untuk memecahkan masalah kemiskinan harus dipelajari lebih dulu faktor-faktor apa yang menghambat orang miskin menggunakan kesempatan yang tersedia. Untuk itu, diperlukan suatu pemahaman tentang perubahan yang diperlukan dalam sistem ekonomi, struktur kekuasaan, dan norma-norma serta aspirasi kelompok orang kaya yang ikut memicu timbulnya kelompok orang miskin.

http://ifzanul.blogspot.com/2010/02/hubungan-antara-individu-keluarga-dan.html
http://dasuki-yunus.blogspot.com/2009/10/menyibak-kasus-kemiskinan-menuai-kasus.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar