Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 30 Maret 2011

Penderitaan Sebagai Akibat dari Ulah Manusia



Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sansekerta dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan dapat berupa penderitaan lahir atau batin atau lahir dan batin. Penderitaan termasuk realitas manusia dan dunia. Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, ada yang berat, ada yang ringan. Namun peranan individu juga menentukan berat-tidaknya intensitas penderitaan. Suatu pristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit kembali bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencpai kenikmatan dan kebahagiaan.Kehidupan manusia tidak akan datar pasti bergelombang maksudnya pasti ada yang enak dan tidak enak nya, sebut saja yang tidak enak penderitaan. Dalam menghadapi penderitaan setiap orang pasti melakukan hal yang berbeda untuk menahan atau menyikapinya, ada yang menyikapinya dengan tindakan positif dan negatif

Kita bisa lihat penderitaan yang dialami rakyat Palestina selama masa invasi Israel ke Palestina.Siapapun orang yang tidak marah dan tidak geram, maka orang itu tidak punya hati nurani! Tidak usah menjadi seorang muslim, untuk menyatakan bahwa tindakan Israel itu biadab, seorang kristen, seorang hindu bahkan seorang komunispun, kalau dia masih manusia yang mempunyai hati nurani, pasti orang itu akan marah dan geram.
Tapi, marah dan geram saja tidak menyelesaikan masalah. Israel tetap saja biadab. Amerika, Eropa dan Australia tetap saja menjadi penonton dan dimana perlu siap siaga menjadi pendukung Israel! Itu adalah kenyatan! Itulah realita yang nyata! Dan kita umat manusia Khususnya umat Islam harus menerima kenyatan itu apa adanya! Kita tidak boleh berandai-andai. Realita yang keras dan menyakitkan hati, memang begitu!!!

Apa yang terjadi di Gaza sekarang hanyalah pengulangan terhadap apa yang dialami Yaser Arafat dan PLO-nya dua puluh tahun yang silam di Yordania dan di Libanon yang dikenal sebagai “september hitam”.

Jawaban terhadap permasalahan ini sudah diketahui dengan persis oleh umat Islam seluruh dunia semenjak lama, yaitu persatuan umat Islam. Tapi disitulah masalahnya, sulitnya bersatunya umat Islam adalah suatu kenyataan yang menjengkelkan Jangankan seluruh dunia Islam, negara-negara Arab sendiri yang tergabung di dalam Liga Arab tidak pernah bersatu. Selalu saja cekcok. Yang satu ke kanan. Yang lain ke kiri. Yang lainnya mbalelo tidak ambil peduli dengan apa yang terjadi.

Penderitaan rakyat Palestina di Gaza sekarang ini lebih berat lagi. Bukan saja negara-negara Arab tidak bersatu. Bahkan bangsa Palestina sendiri tidak bersatu. Terpecah antara Hamas dan Fatah. Di Gaza yang berkuasa adalah Hamas yang didapatnya dengan berdarah-darah, yaitu dengan mengusirdan membunuh Fatah dari Gaza.

Isreal sekarang berdalih bukan menyerang Palestina, melainkan menyerang Hamas. Dan Fatah sendiri dibuat dalam posisi dilemmatis. Membela Hamas dan mengutuk Israel? Atau mbalelo? Inilah kenyataan yang pahit itu!

Sebenarnya, yang harus menyelesaikan masalah Palestina adalah bangsa Palestina sendiri. Almarhum Yaser Arafat sebenarnya telah melakukan hal yang besar dan sangat positif untuk bangsa Palestina, yaitu melakukan perjanjian damai dengan Israel, Perjanjian Oslo tahun 1993, menyepakati berdirinya dua negara berdampingan, Palestina dan Israel Berdasarkan kesepakatan tersebut Yaser Arafat pulang ke Palestina (dari Mesir) dan mendirikan pemerintahan di Ramallah.

Sayangnya, perjanjian damai tersebut ditolak oleh sayap kanan Israel dan garis keras Palestina yang diwakili oleh Hamas. Simon Peres perdana menteri Israel mati terbunuh oleh fanatikus sayap kanan Israel. Sementara almarhum Yaser Arafat, kabarnya keracunan sehingga menemui ajalnya.

Sayangnya lagi, kenyataan menunjukkan garis keras dari kedua belah pihak menjadi dominan dan menentukan, sehingga perjanjian damai bagi berdirinya negara Palestina sampai hari ini tak kunjung terealisir (Resminya negara Palestina sampai hari ini belum ada, sekalipun pemimpinnya sudah disebut presiden dan mendapatkan protokoler sebagai presiden. Hal ini menjadi salah satu keanehan dalam tata pergaulan internasional. Karena hal serupa itu diluar pakem diplomatik yang ada).

Pemilu Palestina 2006 yang dimenangkan oleh Hamas sebenarnya bisa menjadi momentum untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya Hamas justru mementahkannya dengan tidak mengakui eksistensi negara Israel. Suatu sikap Hamas yang sulit dipahami, disatu pihak Hamas ikut pemilu dalam satu pemerintahan yang berdiri karena perjanjian Oslo, tapi dipihak lain Hamas ingin meghapuskan inti sari dari perjanjian Oslo. Maka semenjak itu (2006) semua soal Palestina menjadi mentah kembali. Suatu keadaan yang memang diinginkan pula oleh sayap kanan lsrael.

Masalah krusial yang diahadapi oleh almarhum Yaser Arafat adalah mengenai batas negara. Palestina menunggu konsep Israel, sementara Israel tidak kunjung mengajukan kon-sep batas negara. Padahal posisi sebenarnya bisa dibalik, Palestina mengajukan peta batas negara, dan posisikan Israel sebagai pihak yang membahas konsep Palestina.

Tentu perundingan akan alot Tapi, lama kelamaan masalah bisa mengerucut untuk diselesaikan. Sedangkan sekarang posisinya ngambang, sehingga negara Palestina tak kunjung diproklamasikan. Itulah masalah yang harus kita fikirkan bersama. Dan inilah jihad yang perlu dilaksanakan.
Sumber bisa dilihat disini dan disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar