Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 01 November 2010

Berbeda beda tetap Satu Indonesia (Agama dan Masyarakat )

Agama
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
-. menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
-. menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan

Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

Agama Di Indonesia
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.

Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.

Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.

Hubungan Agama dengan Masyarakat
Telah kita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya.Hal ini membuktikan bahwa agama mempunyai hubungan yang erat dengan budaya sebagai patokan utama dari masyarakat untuk selalu menjalankan perintah agama dan melestarikan kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut mempunyai andil yang besar dalam melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang menjalankan semua perintah agama dan ikut menjaga budaya agar tetap terpelihara.
Selain itu ada juga hubungan lainnya,yaitu menjaga tatanan kehidupan.Maksudnya hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain.
Namun sekarang ini agamanya hanyalah sebagi symbol seseorang saja. Dalam artian seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala perintah agama tersebut. Dan di Indonesia mulai banyak kepercayaan-kepercayaan baru yang datang dan mulai mengajak/mendoktrin masyarakat Indonesia agar memeluk agama tersebut. Dari banyaknya kepercayaan-kepercayaan baru yang ada di Indonesia, diharapkan pemerintah mampu menanggulangi masalah tersebut agar masyarakat tidak tersesaat di jalannya. Dan di harapkan masyarakat Indonesia dapat hidup harmonis, tentram, dan damai antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya.

Berikut adalah contoh kasus agama dalam masyarakat multikultural indonesia.

Agama Dalam Masyarakat Multikultural Indonesia.
Keberagaman adalah ciri khas Indonesia. Indonesia, bukanlah bangunan negara yang tunggal. Dia terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara multikultur.

Namun keberagaman yang mestinya dirayakan dengan penuh rasa syukur ini, dalam sejarah perjalanan berbangsa, kerap menjadi persoalan. Perjumpaan antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab. Saling curiga yang berbuntut pada permusuhan dan konflik sering tak bisa dihindari.

Maka, Indonesia butuh etika bersama dalam memaknai keberagaman tersebut. Sebuah sikap dan pemikiran yang memberi tempat bagi kehadiran ”the other” dalam pergaulan publik, perlu dikembangkan. Ini bukan langkah mudah. Sebab, agama-agama atau apapun yang saling berbeda itu akan berhadapan dengan tuntutan menjaga ”kemurnian” ajaran dan keyakinannya. Meski pada hal mendasarnya, karena tuntutan itulah sehingga sikap eksklusif yang tidak menerima kehadiran ”the other” menjadi pilihan dari antara yang berbeda itu.

Belakangan muncul sebuah paradigma yang disebut dengan ”multikulturalisme”. Sebelumnya, paradigma ”pluralisme” telah banyak dibicarakan maupun diusahakan dalam merespon semakin majemuknya dunia. Multikulturalisme memang baru dalam wacana dan diskursus pemikiran. Baru sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural ini muncul. Pada masa awalnya ini, gerakan yang memberi apresiasi terhadap keberagaman, muncul di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan menyebar di beberapa negara yang khas dengan pluralitas. Multikulturalisme sendiri dipahami sebagai sikap yang menerima dan menghargai eksistensi ”the others”, sebagai bagian dari keberagaman, dengan tidak mempersoalkan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.

Ada pertanyaan, apakah multikulturalisme bertentangan dengan agama? Penulis artikel ini, Nurul Huda Maarif, memang menganggap pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Sebab, menurut dia, masih ada kecenderungan memahami multikulturalisme sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam agama, sehingga harus ditolak. Sehingga, mencari titik temu antara konsep multikulturalisme dengan agama, adalah sesuatu yang sedikit sulit dilakukan, tapi bukan mustahil.

Sehingga, tidak berarti kesulitan itu kemudian membuntukan usaha mempertemukan antara agama dengan konsep multikulturalisme. Mengutip pendapat Mun’im A Sirry, Nurul Huda Maarif menemukan adanya dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk mempertemukan keduanya. Pendekatan pertama adalah dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran atau doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang pada beberapa hal telah dijadikan oleh agama-agama tersebut sebagai alasan untuk bersikap eksklusif. Ini sebagai usaha untuk membuka cakrawala agama sehingga bisa beradaptasi dengan kenyataan keragaman kultur. Pendekatan kedua, bahwa agama perlu membuka diri pada gagasan-gagasan yang modern. Perlu ada modernisasi dalam agama dan hal beragama.

Barangkali akan muncul pertanyaan, mengapa harus multikulturalisme? Beberapa pendapat yang dikutip oleh Nurul Huda Maarif menunjukkan bahwa multikulturalisme memiliki visi yang mencerahkan dalam memberi petunjuk untuk memaknai agama secara benar dalam konteks masyarakat yang multikultul seperti Indonesia. Bahwa, multikulturalisme pada prinsipnya membuka ruang dalam sikap yang terbuka dengan penuh semangat persamaan bagi yang saling berbeda suku, ras, agama, golongan dan ideologi untuk hidup bersama dalam suatu arak-arakan kehidupan. Multikulturalisme juga menuntut adanya sikap keterbukaan untuk memaknai secara benar keyakinan yang dianut - tanpa harus dibenturkan dengan yang lain – dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Visi multikulturalisme adalah terciptanya masyarakat yang multikultur dalam sebuah persamaan hak, berkeadilan, sejahtera dan damai.

Masyarakat Indonesia sebenarnya sejak jauh-jauh hari telah memaknai semangat menerima dan menghargai perbedaan, ketika bangunan negara ini memang berpondasikan keberagaman. Bhineka Tunggal Ika, mestinya dimaknai lebih dari sekedar wacana, sebab inilah konsep multikulturalisme Indoensia yang lahir bersama kelahiran republik ini. Jika semangat multikulturalisme itu diruntuhkan dengan semangat monokulturalisme, maka hancurlah bangunan Indonesia.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
http://krisnawanadikusuma.blogspot.com/2009/12/hubungan-agama-dengan-masyarakat.html
http://id.shvoong.com/humanities/1925066-agama-dalam-masyarakat-multikultur-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar