Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 27 November 2010

Seni Wayang Kulit Jawa Tengah (Penduduk, Masyarakat, dan Kebudayaan)

Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua:

1.Orang yang tinggal di daerah tersebut
2.Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.

Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.
Masalah-masalah kependudukan dipelajari dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi, ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan dalam pemasaran, yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonmi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial.
Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia

Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.

Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.

Masrarakat dan Kebudayaan Indonesia

Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.

Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .

Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Dewasa Ini

Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.

Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).

Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sector kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.

Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.

Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.

Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.

Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.

Berikut ini adalah contoh sebuah kebudayaan dari masyarakat Jawa Tengah yang telah lama ada dalam lingkungan masyarakat Jawa Tengah yang merupakan warisan dari leluhurnya.

WAYANG KULIT

Wayang kulit adalah sebagian dari produk seni tradisionil klasik, yang secara sadar dikembangkan secara konsepsionil. Konsep ini kemudian berakibat adanya perumusan seni yang kemudian dipertahankan kelestariannya oleh pencintanya. Konsep tersebut dibuat oleh orang yang biasa kita sebut dengan istilah “empu”. Empu-empu ini merupakan orang yang dekat dengan orang yang mempunyai kekuasaan, misalnya raja-raja. Selain itu empu juga seorang yang menurut istilah sekarang disebut “all round”. Mumpuni dalam hampir segala bidang, dia seorang sastrawan, ahli politik, ahli hukum, ahli siasat, ahli pandai besi. Contohnya Empu Gandring.

Apa sebab wayang kulit dapat bertahan sampai sekarang ? Ini adalah karena dibuat menurut konsep yang matang. Ada rencana dan ada pelaksanaan, serta sebelum itu sudah di”research” matang-matang oleh sang empu dan anak buahnya.

Hal itulah yang membedakannya dengan kesenian tradisionil non klasik dimana pendekatannya bukan dari segi konsep. Kesenian tradisionil non klasik ini contohnya yang paling jelas adalah seni anyam-menganyam, Dimana pola-pola anyaman tidak timbul karena direncanakan terlebih dahulu secara koonsepsionil, tetapi lebih banyak timbul karena segi teknis dan naluri manusia. Dengan kata lain, timbul karena kebutuhan dan kemudian ditambah dengan naluri. Sehingga terbentuk sesuatu yang bersifat estetis. Disini estetis timbul belakangan dan tidak secara konsepsionil direncanakan dulu. Seni semacam ini banyak timbul dikalangan rakyat jelata.

Pada seni tradisionil klasik, semuanya sudah dipikirkan matang-matang. Ada konsepsinya dan ada rumus-rumusnya. Berkembang dikalangan istana atau keraton, misalnya Solo, Yogyakarta, Cirebon.

Kembali kepada wayang tadi, wayang merupakan suatu seni yang juga termasuk katagori seni tradisionil klasik. Dibuat berdasar suatu konsep yang matang. Tetapi apa sebabnya sekarang begitu ditinggalkan orang ? Nah marilah kita lihat kaitannya dengan sejarah kita.

Perkembangan kesenian dipengaruhi oleh segi lingkungan yang berupa keadaan masyarakat, pendidikan, dan situasi budaya suatu kelompok masyarakat dimana seni tersebut berada. Baiklah kita tinjau satu persatu.

Keadaan masyarakat, sifat dari masyarakat yang sudah maju sudah kita ketahui, yaitu individuil. Sedangkan sifat masyarakat yang belum maju adalah tradisionil. Individuil adalah sikap hidup yang diketahui berasal dari barat. Sedang tradisionil ini merupakan sikap hidup masyarakat timur pada umumnya.

Wayang tadinya merupakan salah satu bentuk upacara tradisionil yang menjadi satu kesatuan dengan kehidupan orang. Tetapi karena faktor-faktor diatas tadi, menjadi satu bentuk seni yang terlepas dari kehidupan. Hanya menjadi tontonan, untuk kesenangan saja. Kalau kita menghidupkan wayang, hanyalah karena “supaya tidak punah”, merupakan kebudayaan lama, sisa-sisa leluhur kita. Tetapi bukan karena pribadi membutuhkan, secara utuh wayang, tidak menghayatinya untuk apa kita menghidupkannya, bukan dari segi estetisnya, bukan pula dari segi isinya. Padahal suatu seni hanya dapat hidup bila dibutuhkan. Orang mempunyai seni memainkan wayang, karena ia ingin dan butuh suatu media untuk melambangkan sesuatu yang diinginkan, melemparkan pesan kepada orang lain, memuaskan emosi, kesedihan, kegembiraan, perasaan-perasaan lain, yang menjadi uneg-uneg. Jadi bukan sekedar untuk disuguhkan kepada penonton.

Wayang ini harus menjadi kebutuhan pribadi seseorang dulu untuk dapat kembali seperti jaman lampaunya. Serta harus dicintai sepenuh hati.

Tendensi bahwa wayang ini akhirnya hanya menjadi bahan tontonan saja yang hanya dimainkan sekedar untuk menyenangkan hati, pesta-pesta, itulah yang akhir-akhir ini yang kita lihat. Kalau pada kebudayaan barat, dikenal adanya gerakan total theatre, yaitu gerakan untuk menyatukan antara pertunjukan dan penonton menjadi kesatuan; yang akhir-akhir ini meluas. Dan kita ikut-ikutan mencontohnya, Begitu ? Padahal yang pada jaman sekarang disebut dengan total theatre, pada wayang kulit sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Wayang kulit menjadi kesatuan dengan hidup, kebutuhan kita sehari-hari. Malahan sekarang kita berusaha membuat jarak antara pertunjukan dengan penontonnya. Ini dapat kita lihat dalam pertunjukkan wayang, dibuat panggung khusus untuk pemain, dan ada jarak; kemudian baru penonton, jauh dari panggung.

Seni-seni kita pada mulanya, selalu merupakan total theatre, akrab dengan penonton. Tetapi oleh ulah kita sendiri menjadi sesuatu yang berpisah dari kita. Seni bukan lagi menjadi kebutuhan kita, hanya sekedar menghibur. Hanya sampai disitu saja.

Padahal pada wayang kulit, yang disebut kesatuan antara pemain dan penonton sudah dicapai. Bukan dengan dimainkan di panggung, tetapi dengan dimainkan di dalam rumah, di pendopo, penonton berbaur dengan pemain. Sisa-sisa dari ini masih dapat kita lihat pada pertunjukkan yang diadakan di desa-desa.

Pemain dan penonton dalam wayang ini seharusnya sama tinggi kedudukannya, baik itu secara moril maupun secara fisik. Semua menjadi satu kesatuan, bagaimanapun kecilnya peran seorang penabuh, tetapi menentukan keseluruhannya, penontonpun ikut merasakannya andaikata salah seorang penabuh membuat kesalahan. Ini yang disebut dengan kesatuan, total. Semua yang hadir merasa ikut sayang, ikut sedih, ikut marah. Kita dapat melihatnya teriakan-teriakan dari penonton, dan dapat merasakannya dari tabuhan yang keras pada adegan peperangan. Semua yang hadir dalam satu kesatuan.

Kalau kita ingin mengembalikan kesenian semacam wayang ini hidup seperti dulu, terlebih dahulu harus kita cintai dan menjadi kebutuhan kita. Juga pembinaannya, mempelajari kembali makna dan pesan yang ada didalamnya. Jangan membuat garis pemisah antara penonton dengan pemain, yang akan menimbulkan ketegangan, gap dan perasaan tidak enak. Penonton dan pemain haruslah lebur menjadi satu. Sehingga perasaan pemain dan penonton sama.

Sumber : sinisini, dan sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar